Rakus dan Merusak, Tambang Emas Ilegal di Pasaman Barat Menggunduli Hutan, Polda dan Polres Jadi Penonton
PASAMAN BARAT — WARTA POLRI | Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) di wilayah Kabupaten Pasaman Barat kian hari makin brutal dan tak terkendali. Di balik janji ekonomi semu, tambang emas ilegal ini justru meninggalkan kerusakan lingkungan yang masif, memicu konflik sosial, merusak infrastruktur, dan bahkan mengancam keselamatan jiwa warga.
Investigasi di lapangan mengungkap bahwa sejumlah titik di Kecamatan Talamau, Gunung Tuleh, hingga Sungai Aur menjadi sarang utama para penambang ilegal. Dengan alat berat jenis ekskavator, para penambang dengan leluasa mengoyak bumi, menggunduli hutan lindung, mencemari sungai dengan merkuri, dan mengabaikan semua aturan hukum yang berlaku. Hutan yang dahulu rimbun kini berubah menjadi lahan tandus dan kolam-kolam raksasa yang penuh lumpur beracun. Kamis,18/9/2025.
“Kami hidup dalam ketakutan. Setiap malam suara mesin menggema dari hutan. Sungai tempat kami mandi dan mencari ikan kini berubah warna, bau, dan dipenuhi limbah berbahaya,” ujar Sarmi (47), warga Talu.
Lebih parahnya, praktik tambang emas ilegal ini diduga kuat dibeking oleh oknum tertentu, baik dari kalangan aparat maupun tokoh lokal. Masyarakat yang mencoba melawan atau melapor justru diteror dan diintimidasi oleh Orang-orang tertentu.
“Ada kekuatan besar yang melindungi aktivitas ini. Mereka bukan penambang kecil-kecilan. Ada uang miliaran yang bermain. Kami sudah lapor ke pihak berwenang, tapi tak ada tindak lanjut,” ungkap seorang aktivis lingkungan yang meminta identitasnya disembunyikan.
Dampak dari aktivitas ini bukan sekadar pada kerusakan alam. Pada tahun 2024, banjir bandang yang menghantam beberapa nagari di Pasaman Barat diduga kuat akibat deforestasi masif yang dipicu oleh penambangan liar. Bahkan nyawa melayang dalam bencana tersebut.
“Kalau pemerintah terus diam, Pasaman Barat bisa menjadi kuburan massal ekologi. Ini bukan hanya soal tambang, ini soal hak hidup manusia dan generasi mendatang,” kata Rendi Septa, pengamat lingkungan dari Universitas Andalas.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat dinilai lamban dan terkesan menutup mata terhadap persoalan ini. Ketika dikonfirmasi, pihak terkait hanya memberikan pernyataan normatif tanpa langkah nyata. “Kami akan menindak sesuai aturan,” katanya singkat, tanpa merinci langkah konkrit.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kepolisian Daerah Sumatera Barat didesak turun langsung untuk membongkar jaringan mafia tambang ilegal ini. Masyarakat sipil, aktivis, dan media mendesak penegakan hukum yang tegas dan menyeluruh.
Setiap hari yang dibiarkan berlalu tanpa tindakan tegas adalah hari di mana hutan hancur, air tercemar, dan warga kian terpinggirkan oleh kerakusan segelintir orang. Sudah saatnya negara hadir bukan sebagai penonton, tapi sebagai pelindung rakyat dan penjaga alam. Jika aparat penegak hukum gagal bertindak, maka bukan hanya Pasaman Barat yang rusak, tapi juga wajah keadilan negeri ini yang tercoreng.
Aktivitas penambangan emas tanpa izin (PETI) kian menggila di sejumlah jorong di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat. Ironisnya, di tengah hancurnya lingkungan dan keresahan masyarakat, aparat kepolisian setempat justru terkesan menutup mata dan hanya menjadi penonton. Penegakan hukum seakan-akan berhenti total. Lembaga yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga hukum dan ketertiban kini dipertanyakan integritas dan keberpihakannya.
Beberapa titik yang menjadi lokasi tambang ilegal yang disebut-sebut marak antara lain berada di wilayah Jorong Kampung Baru, Jorong Tombang, dan Jorong Ranah Batahan. Masyarakat menyebut, aktivitas tambang ini tak hanya menyebabkan kerusakan lingkungan, tetapi juga mengganggu aliran sungai, mencemari air bersih, serta berpotensi merusak ekosistem dan sumber penghidupan warga sekitar.
Mirisnya, meskipun aktivitas tambang ilegal ini terang-terangan berlangsung siang dan malam, aparat kepolisian mulai dari Polda Sumbar, Polres Pasaman Barat serta Polsek setempat belum menunjukkan tindakan tegas yang sepadan. Sumber dari warga lokal menyebutkan bahwa para penambang bahkan merasa aman beroperasi karena “sudah biasa” dan “tidak pernah diganggu aparat karena setoran bulanan kancar.
“Setiap hari alat berat keluar masuk. Sungai makin keruh. Ikan tak bisa ditangkap lagi. Kami hanya bisa mengeluh, karena polisi seperti tidak peduli. Kami tanya-tanya, katanya itu bukan urusan mereka,” ungkap Fadli, warga Jorong Tombang, kepada wartawan.
Pertanyaan besar muncul di tengah publik, mengapa aparat kepolisian yang memiliki wewenang hukum justru diam membisu terhadap kegiatan yang secara jelas-jelas melanggar Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Kuat dugaan telah terjadi pembiaran sistematis, bahkan tidak sedikit yang mencurigai adanya praktik kongkalikong antara oknum aparat dan pelaku tambang ilegal. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa aktivitas PETI ini telah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa adanya upaya pemberantasan yang nyata.
“Kalau aktivitas ilegal bisa jalan terus di depan mata aparat, logikanya cuma dua dibekingi atau dibiarin. Dua-duanya sama parahnya,” tegas Direktur Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumatera Barat.
Selain kerusakan lingkungan, aktivitas PETI juga membawa dampak sosial yang serius. Anak-anak bermain di dekat limbah tambang, lahan pertanian tercemar, dan konflik sosial mulai muncul akibat perebutan lahan dan ketimpangan ekonomi yang ditimbulkan.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Pasaman Barat bahkan menyebut penegakan hukum di wilayah ini telah “mati suri.” Mereka menuntut Mabes Polri untuk segera turun tangan, melakukan audit menyeluruh terhadap kinerja Polda Sumatera Barat dan Polres Pasaman Barat, serta mengevaluasi aparat yang diduga melakukan pembiaran terhadap kejahatan lingkungan.
Desakan masyarakat pun menguat. Sejumlah tokoh masyarakat dan aktivis lingkungan secara terbuka menuntut pencopotan Kapolda Sumatra Barat dan Kapolres Pasaman Barat jika tidak ada tindakan nyata terhadap aktivitas tambang ilegal tersebut.
“Kami sudah cukup bersabar. Jika aparat tidak bisa menegakkan hukum, maka mereka tidak layak duduk di kursi penegak hukum. Kami minta Kapolri segera copot Kapolda dan Kapolres jika tidak mampu memberantas tambang ilegal ini,” tegas Uda Ajo, tokoh pemuda dari Kecamatan Ranah Batahan.
Tambang emas ilegal bukan sekadar pelanggaran administratif ini adalah kejahatan lingkungan dan sosial yang harus ditindak dengan keras. Diamnya aparat bukan hanya bentuk kelalaian, tetapi juga pengkhianatan terhadap sumpah jabatan dan amanah rakyat.
Sudah saatnya pemerintah pusat dan Kapolri, juga bahkan Komisi III DPR RI menyoroti serius kasus ini. Hukum tidak boleh kalah oleh alat berat. Negara tidak boleh kalah oleh penambang ilegal. Dan aparat penegak hukum tidak boleh terus menjadi penonton saat rakyat dan lingkungan hancur di depan mata mereka.@Red.