Wartawan Amplop Cemari Marwah Pers Sulawesi Barat, Oknum Tak Malu Memalak, Nama Jurnalis Jadi Tumbal
Sulbar, 25 September 2025.
Oleh: Ayu Lestari.
Di tengah perjuangan insan pers yang bekerja keras menjaga independensi dan kepercayaan publik, sejumlah oknum di Sulawesi Barat justru memperjualbelikan profesi mulia ini demi selembar amplop berisi uang. Fenomena wartawan amplop kini kian menjadi buah bibir di kalangan pejabat daerah, pelaku usaha, hingga masyarakat biasa. Lebih parahnya lagi, ada yang dengan tanpa malu memintanya secara terang-terangan bahkan memalak jutaan rupiah atas nama “berita damai”.
Kasus seperti ini bukan hal baru. Namun, ketika praktik tersebut semakin vulgar dan dilakukan oleh oknum yang mengaku wartawan, maka yang tercoreng bukan hanya individu pelaku, melainkan seluruh profesi pers di provinsi ini.
Beberapa narasumber yang enggan disebut namanya mengaku kerap didatangi oleh orang yang mengaku wartawan, lengkap dengan kartu pers dan atribut medianya. Bukan untuk konfirmasi berita, melainkan untuk menakut nakuti dengan ancaman pemberitaan negatif bila tidak diberi “uang tutup mulut”.
Nominal yang diminta pun bervariasi dari ratusan ribu hingga jutaan rupiah, tergantung seberapa “heboh” isu yang mereka bawa.
Fenomena ini jelas merusak esensi jurnalisme. Wartawan sejatinya adalah mata, telinga, dan suara rakyat yang berjuang di garis depan kebenaran. Namun, di tangan para oknum ini, profesi tersebut berubah menjadi alat pemerasan dan kepentingan pribadi.
Bagi masyarakat awam, sulit membedakan mana wartawan sungguhan dan mana wartawan amplop berbaju pers. Akibatnya, semua jurnalis di Sulawesi Barat ikut terkena imbas buruk dianggap sama, dianggap peminta-minta, dianggap tidak profesional.
Padahal, banyak wartawan sejati di provinsi ini yang bekerja dengan integritas tinggi, menulis dengan idealisme, dan menolak amplop demi menjaga kehormatan profesi. Namun suara mereka kalah oleh ulah segelintir pencoreng yang bersembunyi di balik logo media murahan.
Jurnalis adalah panggilan nurani, bukan lahan pemalakan. Tugas utama wartawan adalah menyampaikan fakta, menggali kebenaran, dan mengawasi kekuasaan bukan memanfaatkan informasi untuk mengancam atau memperkaya diri. Ketika profesi ini disalahgunakan, maka kepercayaan publik akan luntur. Masyarakat tidak lagi membedakan mana berita hasil kerja keras, mana berita pesanan.
Oknum tersebut telah menciptakan suasana curiga dan tidak sehat antara media dan narasumber. Pejabat jadi was-was setiap kali didatangi wartawan, pelaku usaha merasa terancam, dan masyarakat kehilangan respek terhadap media.
Sudah waktunya organisasi wartawan di Sulawesi Barat baik, bersuara keras dan menindak tegas praktik wartawan amplop. Jangan lagi menutup mata terhadap oknum yang menodai profesi ini. Jika perlu, publikasikan daftar wartawan dan media resmi yang terverifikasi agar masyarakat tahu siapa yang benar-benar bekerja secara profesional.
Selain itu, aparat penegak hukum juga harus turun tangan. Pemerasan tetaplah pemerasan, sekalipun pelakunya membawa kartu pers. Tidak ada alasan bagi aparat untuk takut memproses hukum pelaku kejahatan berkedok jurnalis.
Pers adalah tiang keempat demokrasi. Tapi ketika tiang itu dirusak oleh tangan-tangan serakah dari dalam, maka runtuhlah kepercayaan yang menjadi fondasinya.
Kini, tugas berat menanti insan pers sejati di Sulawesi Barat membersihkan nama baik profesi, menegakkan kode etik, dan memulihkan marwah jurnalisme yang telah ternoda.
Sulawesi Barat butuh jurnalis yang berani, bukan jurnalis yang menadahkan tangan. Butuh pena tajam, bukan amplop tebal.
Karena setiap kali ada oknum yang menjual berita demi uang, di saat yang sama ada ribuan wartawan jujur yang berjuang mempertahankan kehormatan profesinya. Sudah saatnya kita berkata Cukup jangan jual profesi wartawan demi amplop murahan.

