Profesi Wartawan Diambang Kehancuran, Dirusak Oleh Oknum Wartawan Abal-abal Berkedok Pers
Makassar, 23 September 2025.
Oleh: Redaksi Warta Polri.
Di tengah era keterbukaan informasi dan kebebasan pers yang diperjuangkan dengan darah dan air mata sejak reformasi, profesi wartawan yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi kini berada di titik nadir. Bukan karena tekanan dari penguasa atau sensor negara. Bukan pula karena ancaman kriminalisasi oleh pengusaha hitam. Tetapi karena ulah segelintir oknum yang mengaku “WARTAWAN” dengan modal ID CARD murahan dan surat tugas dari media yang mereka ikuti, menjelma menjadi benalu busuk dalam dunia jurnalistik.
Fenomena ini tidak bisa lagi dianggap sebagai kasus individual. Ini adalah wabah. Para “Wartawan Gadungan” ini targetnya dari kampung ke kampung, menyisir kantor-kantor desa, kelurahan, hingga instansi pemerintah daerah. Mereka masuk kekantor, bukan untuk mencari berita, bukan untuk menggali fakta, tetapi untuk satu tujuan minta uang. Dengan bahasa manis yang dibungkus ancaman halus, mereka menawarkan “PEMBERITAAN” yang sejatinya adalah bentuk pemerasan terselubung.
Mereka menyebut diri “PERS”, padahal yang mereka lakukan adalah menjual intimidasi. Mereka melabeli diri sebagai “pengawas masyarakat dan kontrol sosial”, padahal yang mereka awasi hanyalah amplop berisi “salam tempel”. Tidak sedikit dari mereka yang bahkan terang-terangan meminta uang jalan, uang makan, hingga “biaya pengamanan berita” agar tidak ditayangkan. Ini adalah pemalakan gaya baru yang mencoreng baju profesi wartawan sejati.
Beberapa kepala desa yang kami wawancarai mengaku resah. Hampir setiap minggu ada oknum wartawan datang dengan membawa ID PERS dari media yang mereka ikuti. Mereka datang bukan untuk konfirmasi isu atau klarifikasi berita, tetapi langsung bertanya, “Ada bantuan untuk kami, Pak,” atau “Kalau tidak dibantu, nanti kami ekspos, loh.” Sebagian dari mereka bahkan datang bergerombol, menebar teror mental.
“Kadang-kadang kita bingung, ini wartawan atau debt collector,” ujar seorang kepala desa di Sulawesi Barat yang enggan disebutkan namanya. “Kami mau melaporkan pun bingung, karena mereka bawa ID PERS dan surat tugas. Kalau tidak diladeni, takutnya diberitakan negatif.
Fenomena ini sudah lama berlangsung, dan parahnya, sebagian pejabat atau aparat malah terbiasa “menganggarkan” amplop khusus untuk wartawan seperti ini. Inilah akar masalah sebenarnya kompromi sistematis yang membuat penyakit ini terus hidup dan menyebar.
Akibat ulah para wartawan abal-abal ini, citra wartawan di mata masyarakat menjadi hancur. Wartawan bukan lagi dipandang sebagai pencari kebenaran, pengawal demokrasi, atau penyampai suara rakyat. Di banyak tempat, wartawan kini identik dengan peminta-minta, pengemis berseragam PERS.
Sungguh ironi yang menyakitkan. Profesi yang seharusnya menjadi pengontrol kekuasaan kini justru dikendalikan oleh kekuasaan amplop. Media yang seharusnya berdiri di atas idealisme kini dijadikan tameng oleh para oknum oportunis untuk kepentingan pribadi.
Sudah saatnya dunia jurnalistik Indonesia melakukan gerakan bersih-bersih internal. DEWAN PERS, organisasi profesi, dan seluruh insan PERS sejati harus mengambil langkah konkret. Penertiban media abal-abal, penegakan kode etik jurnalistik, dan edukasi publik harus menjadi agenda utama.
Begitu pula aparat penegak hukum dan instansi pemerintah harus berani menolak dan melaporkan oknum wartawan yang datang bukan untuk kerja jurnalistik, tapi untuk memalak. Tak perlu takut. Wartawan sejati tidak akan meminta uang, tidak akan mengemis, apalagi mengancam dengan berita.
Wartawan sejati menulis karena panggilan nurani, bukan karena lembaran rupiah. Mereka turun ke lapangan untuk menggali fakta, bukan mengais amplop. Mereka hidup dengan prinsip “Lebih baik kelaparan dalam kebenaran, daripada kenyang dalam kebohongan.
Sudah saatnya kita membedakan mana wartawan sungguhan dan mana penyamun berseragam PERS.
Profesi wartawan bukan profesi main-main. Ini adalah tugas mulia yang dijaga dengan integritas, bukan dipakai sebagai alat pemerasan murahan oleh oknum-oknum yang merusak dari dalam.
Jika Anda adalah pejabat, kepala desa, atau siapapun yang pernah mengalami tekanan atau pemerasan oleh oknum wartawan abal-abal, jangan diam segera Laporkan ke polisi, ke Dewan Pers, dan viralkan kasusnya. Jangan biarkan profesi wartawan hancur karena kejahatan yang kita diamkan.