STOP GAGAL PAHAM! UKW BUKAN KEWAJIBAN WARTAWAN, UU Pers Tahun 1999 Tidak Pernah Mewajibkan Sertifikasi dan Apa Perbedaan-Nya Dengan SKW
Jakarta, 6 Oktober 2025.
Oleh: Redaksi Warta Polri.
Kegaduhan dan miskonsepsi soal Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang digelar oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) kembali menjadi sorotan. Banyak kalangan termasuk instansi pemerintah, swasta, hingga aparat TNI/Polri terlihat masih gagal memahami bahwa UKW bukanlah kewajiban hukum bagi setiap wartawan. Hal ini telah menimbulkan keresahan yang serius di kalangan insan pers, bahkan memicu aksi demonstrasi besar-besaran beberapa tahun lalu.
Sejak diperkenalkan sebagai instrumen peningkatan profesionalisme wartawan, Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang diadakan oleh organisasi profesi seperti PWI kerap disalahartikan. Tak sedikit pihak, baik dari lembaga negara maupun swasta, menganggap UKW sebagai syarat mutlak bagi seseorang untuk diakui sebagai wartawan profesional. Padahal, Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sama sekali tidak memuat ketentuan yang mewajibkan wartawan mengikuti sertifikasi atau uji kompetensi apapun.
UU Pers secara tegas menyatakan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Dalam pasal-pasalnya, tidak terdapat satu pun klausul yang menyebut bahwa seorang wartawan harus “Bersertifikat” atau “diuji kompetensinya” oleh lembaga tertentu agar sah secara hukum menjalankan tugas jurnalistik.
Namun sayangnya, pemahaman yang keliru ini masih menjalar luas. Tak jarang, wartawan yang belum mengikuti UKW dianggap “ilegal” atau “Tidak Profesional” oleh beberapa instansi. Bahkan, dalam beberapa kasus, ada wartawan yang diusir atau ditolak saat meliput hanya karena belum mengikuti UKW.
Puncak dari kegelisahan ini terjadi beberapa tahun lalu ketika ribuan wartawan dari berbagai daerah turun ke jalan. Mereka menggelar demonstrasi besar-besaran di depan kantor Dewan Pers di Jalan Kebon Jeruk, Jakarta.
Aksi damai tersebut menuntut Dewan Pers dan seluruh lembaga terkait untuk menghentikan narasi seolah UKW adalah “Kewajiban Nasional”. Para peserta aksi menyuarakan bahwa UKW hanyalah salah satu cara peningkatan kapasitas, bukan parameter legalitas atau keabsahan wartawan. Mereka membawa spanduk bertuliskan.
* “UKW BUKAN KEWAJIBAN, JANGAN KEBIRI KEMERDEKAAN PERS.
* “UU PERS TIDAK MEWAJIBKAN UKW, JANGAN BUAT ATURAN SEENAKNYA!
* “INSTANSI NEGARA JANGAN JADI AGEN MONOPOLI UKW.
Demonstrasi tersebut berlangsung tertib, namun penuh semangat. Banyak tokoh pers nasional hadir memberikan orasi, termasuk wartawan senior dan pemilik media dari berbagai wilayah. Tuntutan utama mereka adalah agar Dewan Pers tidak lagi memaksakan UKW sebagai syarat administratif atau legalitas wartawan, serta menghentikan kerja sama dengan lembaga pemerintah yang menjadikan UKW sebagai kriteria mutlak.
Kritik keras juga disuarakan terhadap dugaan monopoli dan komersialisasi dalam pelaksanaan UKW. Tak sedikit yang menilai, UKW telah menjadi ladang bisnis terselubung, bukan lagi sarana peningkatan kualitas. Biaya mahal yang dibebankan kepada peserta, serta terbatasnya lembaga penyelenggara, memperkuat dugaan adanya unsur kepentingan ekonomi dalam skema ini.
“Kalau mau tingkatkan kualitas wartawan, buatlah pelatihan gratis, bukan malah jadikan sertifikasi sebagai alat pemisah siapa yang layak atau tidak layak disebut wartawan,” ujar salah satu peserta aksi yang juga pemimpin redaksi media lokal dari Jawa Tengah.
Wartawan dan perusahaan pers mendesak semua pihak terutama institusi pemerintahan, swasta, dan aparat TNI/Polri untuk memahami kembali konteks regulasi pers di Indonesia. Penolakan wartawan hanya karena tidak memiliki sertifikat UKW merupakan bentuk pelanggaran terhadap kemerdekaan pers.
Persatuan wartawan meminta agar lembaga ini tidak menjadi bagian dari kesalahpahaman sistemik. Dalam konteks hukum, status wartawan ditentukan oleh aktivitas jurnalistik yang dijalankan secara profesional dan beretika, bukan oleh selembar sertifikat.
Jurnalisme adalah pekerjaan intelektual dan sosial yang tak bisa diukur hanya lewat selembar kertas bernama sertifikat. Banyak wartawan senior yang telah mengabdi puluhan tahun dengan karya-karya besar yang tak pernah mengikuti UKW, namun kontribusinya sangat besar bagi bangsa ini.
UKW semestinya bersifat sukarela, bukan wajib. Apalagi, jika sampai dijadikan alat untuk mendiskreditkan wartawan yang kritis terhadap penguasa atau institusi tertentu.
Sudah saatnya semua pihak baik Dewan Pers, PWI, pemerintah, dan instansi lainnya menghentikan narasi menyesatkan terkait UKW. Mari kembalikan semangat Undang-Undang Pers 1999 menjamin kebebasan berekspresi, melindungi kerja jurnalistik, dan menghormati keberagaman praktik pers di Indonesia. Wartawan adalah penjaga demokrasi, bukan objek administrasi.
Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pers Indonesia menegaskan komitmennya untuk hanya melaksanakan sertifikasi kompetensi wartawan (SKW) yang sesuai dengan standar resmi Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Penegasan ini disampaikan menyusul maraknya pelaksanaan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang tidak mengacu pada sistem sertifikasi nasional dan dinilai tidak sah alias.
Ketua LSP Pers Indonesia, menekankan bahwa sertifikasi kompetensi di bidang jurnalistik harus dilakukan secara profesional, terstruktur, dan mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang telah disahkan oleh pemerintah melalui BNSP.
“Kami tidak ingin mencederai profesi wartawan dengan praktik-praktik UKW yang tidak jelas legalitas dan metodenya. LSP Pers Indonesia berkomitmen penuh untuk menjalankan SKW yang diakui secara nasional dan internasional melalui lisensi resmi dari BNSP,” ujar salah satu wartawan senior dalam konferensi pers yang digelar di Jakarta beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan bahwa masyarakat pers, khususnya para wartawan, perlu lebih kritis dalam memilih lembaga penyelenggara sertifikasi agar tidak terjebak pada sertifikat yang tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.
LSP Pers Indonesia merupakan salah satu lembaga sertifikasi profesi yang telah mendapatkan lisensi resmi dari BNSP, sehingga seluruh proses sertifikasi yang dilakukan mengikuti pedoman yang ditetapkan, termasuk penggunaan asesor kompeten, perangkat uji tersertifikasi, dan metode asesmen yang valid dan reliabel.
Menanggapi UKW yang tidak terdaftar di BNSP, sala satu pengurus menyebutnya sebagai upaya yang dapat merugikan profesi wartawan dan melemahkan standar kompetensi yang selama ini diperjuangkan oleh komunitas pers di Indonesia.
“SKW yang kami jalankan bukan hanya formalitas. Ini menyangkut kualitas, etika, dan profesionalisme wartawan dalam menjalankan tugasnya. Wartawan yang kompeten akan memperkuat kepercayaan publik terhadap media,” tegasnya.
LSP Pers Indonesia juga mengimbau agar perusahaan media dan wartawan tidak tergiur dengan tawaran sertifikasi cepat dan murah yang tidak terdaftar secara resmi. Sertifikasi semacam itu, menurutnya, tidak akan diakui dalam sistem ketenagakerjaan nasional maupun internasional.
“Kalau tidak ada nomor registrasi dari BNSP, maka itu bukan SKW. Kami siap membuka data dan informasi agar publik bisa memverifikasi keabsahan sertifikasi yang mereka ikuti,” tutupnya.
Dengan penegasan ini, LSP Pers Indonesia berharap ekosistem pers di tanah air semakin sehat, profesional, dan terbebas dari praktik-praktik pseudo profesionalisme yang justru melemahkan marwah jurnalisme itu sendiri.