Tiga Tahun Tanpa Keadilan Polisi Mandul dan Tidak Becus Tangani Kasus Pembunuhan Guru Suami-istri di Aralle, Hingga Tergantung Tanpa Arah
MAMASA — WARTA POLRI | Tiga tahun sudah berlalu sejak tragedi berdarah mengguncang Kecamatan Aralle, Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat. Sepasang suami istri, PP (60) dan S (50), yang dikenal sebagai figur pendidik dan panutan di masyarakat, ditemukan tewas mengenaskan bersimbah darah di dalam rumah mereka sendiri. Satu anak mereka, M (13), ditemukan kritis dengan luka serius. Namun hingga hari ini, tidak ada kejelasan, tidak ada tersangka, dan tidak ada keadilan. Sabtu,1/11) 2025.
Ironisnya, dua kali pergantian Kapolda Sulawesi Barat, dua kali pula harapan masyarakat pupus. Polres Mamasa dan Polda Sulbar dinilai gagal total mengungkap siapa dalang di balik pembunuhan sadis tersebut. Kasus ini kini menjadi simbol ketidakmampuan aparat penegak hukum di daerah dalam menjalankan tugasnya melindungi rakyat dan menegakkan hukum.
“Sudah tiga tahun, tapi hasilnya nol. Apakah hukum sudah mati di Mamasa,” ujar seorang tokoh masyarakat Aralle yang enggan disebut namanya dengan nada getir.
Fakta pahit ini menampar nurani publik. Sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), batas waktu penyelidikan bahkan dalam kasus paling rumit sekalipun hanyalah 120 hari. Namun kini, lebih dari 1.000 hari telah berlalu tanpa titik terang.
Selama itu, tidak ada pengungkapan pelaku, tidak ada laporan perkembangan, dan tidak ada kepastian hukum bagi keluarga korban. Penyelidikan hanya berputar-putar tanpa arah. Polisi seolah kehilangan arah kompas, mandul dalam menegakkan hukum dan keadilan.
Masyarakat menilai aparat di Mamasa dan Sulawesi Barat tidak becus dan tidak serius. Padahal, korban bukan orang sembarangan keduanya dikenal sebagai guru yang mengabdi puluhan tahun untuk mencerdaskan anak-anak Aralle. Kini, nyawa mereka lenyap, dan keadilan pun ikut terkubur.
Tragedi pembunuhan ini tidak hanya merenggut dua nyawa, tetapi juga meninggalkan trauma sosial dan ketakutan mendalam di kalangan warga. Tiga tahun berlalu, pelaku masih bebas berkeliaran, dan masyarakat hidup dalam bayang-bayang rasa takut.
Slogan polisi sebagai Pelindung, Pengayom, dan Pelayan Masyarakat kini terdengar seperti ejekan pahit bagi warga Aralle. Mereka menunggu keadilan, tetapi yang datang justru diam, alasan, dan janji kosong.
“Kalau polisi tidak mampu, lebih baik Polsek Aralle angkat kaki dari kecamatan kami. Untuk apa mereka ada di sini kalau rakyat tidak merasa dilindungi,” tegas seorang warga Aralle yang kini tinggal di Mamuju.
Sejak kasus itu mencuat, sudah dua kali pucuk pimpinan Polda Sulbar berganti. Namun hasil penyelidikan tetap nihil. Tidak ada langkah signifikan, tidak ada keberanian untuk membuka ulang berkas, dan tidak ada upaya transparan untuk menjawab keresahan publik.
Bagi masyarakat Aralle, kasus ini sudah berubah menjadi simbol ketidakadilan dan kelumpuhan penegakan hukum. Mereka menilai, institusi yang seharusnya menjadi benteng terakhir rakyat justru menjadi tembok dingin yang tak peduli.
Kini tekanan publik terus menguat. Elemen masyarakat Aralle, keluarga korban, dan para perantau Mamasa di berbagai daerah bersatu menuntut keadilan. Mereka mendesak Polda Sulbar dan Polres Mamasa membuka kembali penyelidikan secara profesional, transparan, dan tanpa intervensi.
“Kami tidak butuh janji manis, kami butuh hasil. Tiga tahun cukup sudah. Jangan biarkan darah suci korban hanya menjadi angka di laporan tahunan kepolisian,” tegas salah satu perwakilan keluarga korban.
Kasus pembunuhan pasutri Aralle kini menjadi ujian moral dan profesionalisme Polri di Sulawesi Barat. Jika hingga kini belum juga ada titik terang, maka wajar publik bertanya: apakah aparat benar-benar bekerja mencari kebenaran, atau sekadar menjalankan formalitas belaka.
Keadilan yang tertunda adalah bentuk ketidakadilan baru. Setiap hari yang berlalu tanpa kepastian adalah penegasan bahwa rakyat kecil masih bisa diabaikan, bahkan dalam kasus yang mengguncang nurani kemanusiaan.
Keadilan tidak boleh menunggu sudah saatnya Polda Sulbar dan Polres Mamasa membuktikan bahwa mereka masih layak dipercaya. Karena ketika polisi gagal menegakkan hukum, rakyat hanya bisa bertanya: siapa lagi yang akan melindungi kami.@Ayu/Red.

