Bajingan Berseragam, Maraknya Pemerasan oleh Oknum Polisi Cemari Wajah Penegak Hukum di Indonesia
Jakarta, 14 April 2025.
Oleh: S u s a n.
Kepercayaan publik terhadap institusi kepolisian kembali tercoreng oleh ulah oknum-oknum tak bertanggung jawab yang justru memanfaatkan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri. Dalam beberapa bulan terakhir, laporan mengenai tindakan pemerasan oleh anggota polisi semakin mencuat ke permukaan, menimbulkan kemarahan dan keresahan di tengah masyarakat. Senin,14/4/2025.
Kasus terbaru datang dari wilayah Jabodetabek, di mana sejumlah warga melaporkan bahwa mereka menjadi korban pemerasan oleh aparat berseragam. Modus yang digunakan pun bervariasi, mulai dari pungli di jalanan, intimidasi terhadap pelanggar lalu lintas, hingga pemerasan terhadap pelaku usaha kecil dengan dalih pelanggaran administratif.
Salah satu korban, sebut saja Rudi (nama samaran), seorang pengemudi ojek online di Jakarta Timur, mengaku dimintai uang sebesar Rp500.000 oleh seorang oknum polisi lalu lintas agar kendaraannya tidak disita. “Saya nggak punya surat lengkap waktu itu, tapi cara mereka menekan saya sangat tidak manusiawi. Mereka ancam bawa ke kantor, bilang bakal urus pasal berat,” ujarnya dengan nada geram.
Tidak hanya di jalanan, sejumlah laporan juga muncul dari pelaku usaha di berbagai kota yang mengaku diperas oleh aparat dengan ancaman akan “disegel” atau dicari-cari kesalahan lainnya. Mereka dipaksa membayar sejumlah uang agar bisnis mereka bisa terus berjalan tanpa gangguan.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) antikorupsi menilai, maraknya praktik pemerasan ini adalah bukti kegagalan sistem pengawasan internal di tubuh kepolisian. “Kami mendesak Kapolri untuk mengambil tindakan tegas. Jangan biarkan institusi ini menjadi sarang preman berseragam,” ujar aktivis antikorupsi, Yati Andriani.
Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam konferensi pers menyatakan bahwa pihaknya tidak akan mentoleransi tindakan melawan hukum oleh anggotanya. “Kami akan bersihkan oknum-oknum yang mencederai nama baik Polri. Masyarakat berhak dilindungi, bukan diintimidasi,” tegasnya.
Namun, pernyataan itu dianggap sebagian publik sebagai retorika belaka. Banyak masyarakat skeptis karena kasus-kasus semacam ini sudah sering terjadi tanpa ada pembenahan signifikan. “Setiap tahun ada saja kasus begini, tapi pelakunya sering kali hanya dipindah tugas atau dihukum ringan. Kapan bersihnya kalau begini terus?” kata Linda, aktivis HAM dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Fenomena ini menandakan adanya masalah yang lebih dalam di institusi kepolisian: budaya impunitas dan lemahnya penegakan disiplin internal. Reformasi di tubuh Polri yang digadang-gadang sejak era reformasi seolah hanya tinggal jargon kosong. Tanpa ketegasan, transparansi, dan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan, publik akan terus menjadi korban.
Masyarakat pun kini mulai kehilangan harapan terhadap aparat penegak hukum. Ironisnya, mereka yang seharusnya menjadi pelindung justru menjelma menjadi ancaman. Jika tidak segera ditangani dengan serius, krisis kepercayaan ini bisa menjadi bom waktu yang mengguncang stabilitas sosial.