Brimob Pelindas Ojol Dipecat Tidak Hormat, Tapi Didukung Netizen? Susno: Atas Perintah Siapa Mereka Bertindak
JAKARTA — WARTA POLRI | Keputusan Polri untuk memberhentikan dengan tidak hormat (PTDH) oknum Brimob yang melindas pengemudi ojek online bernama Affan Kurniawan disambut dengan respons keras dari masyarakat luas. Namun yang mengejutkan, justru muncul gelombang dukungan di media sosial terhadap anggota Brimob yang dipecat tersebut. Hal ini memunculkan pertanyaan besar masyarakat yang mana yang sebenarnya mendukung tindakan brutal dan tidak manusiawi itu. Senin,8/9/2025.
Aksi pelindasan sadis yang terekam kamera dan viral di media sosial pada saat kejadian langsung menuai kecaman. Dalam video yang menyebar luas, terlihat jelas seorang anggota Brimob dengan sengaja melindas tubuh Affa Kurniawan menggunakan kendaraan taktis, meskipun korban tidak menunjukkan perlawanan berarti. Kejadian tersebut langsung menyulut kemarahan publik yang menuntut pertanggungjawaban hukum dan etik terhadap pelaku.
Tak butuh waktu lama, Kepolisian Republik Indonesia pun mengambil langkah tegas PTDH atau pemberhentian tidak dengan hormat terhadap pelaku. Tapi keputusan ini justru menjadi bahan “lucu-lucuan” bagi sebagian netizen yang tampaknya mendukung pelaku, dengan narasi yang seolah-olah tindakan brutal itu bisa dimaklumi karena “menjalankan tugas”.
“Lucunya, tiba-tiba ramai di media sosial yang mengaku sebagai ‘masyarakat’ tidak terima si pelaku dipecat. Masyarakat yang mana? Apakah mereka mewakili rakyat Indonesia atau hanya barisan pendukung kekerasan berseragam, ujar salah satu aktivis HAM.
Tidak hanya publik biasa yang merasa heran dengan situasi ini, mantan Kepala Bareskrim Polri Komjen (Purn) Susno Duadji pun angkat bicara. Dalam pernyataannya yang viral, ia mempertanyakan narasi para pelaku yang mengaku hanya “menjalankan perintah”.
“Mereka mengaku menjalankan perintah. Sekarang pertanyaannya, perintah dari siapa? Siapa atasan yang menyuruh mereka melindas rakyat. Kalau memang ada perintah, maka rantai komando juga harus diperiksa. Jangan hanya berhenti pada pelaksana,” tegas Susno Duadji.
Pernyataan Susno membuka tabir baru dalam kasus ini. Jika benar tindakan pelindasan itu bukan atas inisiatif pribadi, melainkan berdasarkan perintah atasan, maka publik berhak tahu siapa pemberi perintah, dan atas dasar apa perintah itu dikeluarkan
Ini bukan hanya soal pelanggaran etik, tapi sudah menyentuh ranah kejahatan kemanusiaan oleh aparat terhadap rakyat sipil.
Lebih jauh, pengamat hukum pidana dan militer juga menyoroti lemahnya akuntabilitas di tubuh aparat bersenjata jika alasan “perintah atasan” terus digunakan sebagai tameng pelindung atas tindakan kekerasan.
“Alasan klasik ‘menjalankan perintah’ tidak bisa serta-merta membenarkan tindakan kejam. Bahkan dalam hukum internasional, seseorang tetap bertanggung jawab jika ia melaksanakan perintah yang jelas-jelas melanggar hukum dan HAM,” ujar Prof. M. Sudrajat, ahli hukum dari UI.
Kasus ini menjadi cermin kelam institusi penegak hukum. Di saat masyarakat menuntut keadilan dan perlindungan, justru yang diberikan adalah kekerasan dan intimidasi. Ketika korban berteriak kesakitan, suara rakyat ditenggelamkan oleh barisan pendukung pelaku.
Kini, publik menunggu kelanjutan proses hukum terhadap para pelaku dan kemungkinan adanya keterlibatan atasan yang memberi perintah. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Sementara itu, keluarga Affa Kurniawan menyatakan belum puas dengan hanya PTDH sebagai sanksi. Mereka meminta proses pidana tetap dilanjutkan. “Kami ingin keadilan yang sesungguhnya, bukan hanya sanksi internal,” ujar salah satu anggota keluarga korban.
Kasus ini menjadi peringatan serius bagi institusi Polri dan seluruh aparat negara. Kekerasan bukan hanya mencoreng nama institusi, tapi juga menyayat kepercayaan rakyat. Dan lebih ironis lagi, ketika pelaku kekerasan malah didukung oleh sebagian pihak yang mengklaim sebagai “wakil masyarakat”. Maka publik pun bertanya, masyarakat yang mana yang mendukung pelindasan terhadap rakyat kecil.@Red.