JURNALIS GANDA, Wartawan Sekaligus LSM, Manipulasi Profesi Demi Kepentingan Pribadi
JAKARTA — WARTA POLRI | Dunia jurnalisme Indonesia kembali tercoreng dengan fenomena wartawan merangkap LSM yang semakin masif dan tidak terkendali. Fenomena ini bukan hanya merusak marwah profesi wartawan, tetapi juga membuka ruang penyalahgunaan kekuasaan dan ancaman terhadap objektivitas media sebagai pilar keempat demokrasi. Kamis, 9/10/2025.
Banyak laporan masuk ke Dewan Pers, Komisi Informasi Publik, dan lembaga pengawas media, yang mengungkapkan bahwa sejumlah oknum wartawan di berbagai daerah ternyata juga menjabat sebagai ketua atau anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Mereka menggunakan identitas ganda ini bukan untuk memperkuat fungsi kontrol sosial, melainkan untuk menekan, memeras, bahkan “menyetir” narasi berita demi keuntungan pribadi atau kelompok.
Dalam investigasi redaksi, terungkap sejumlah kasus di mana wartawan yang juga mengklaim sebagai aktivis LSM datang ke kantor pemerintahan daerah atau perusahaan swasta dengan dua identitas. Di pagi hari, mereka datang sebagai wartawan untuk “meliput”, namun di sore harinya datang lagi sebagai LSM untuk “bernegosiasi”. Bahkan dalam beberapa kasus, mereka mengancam akan mempublikasikan berita buruk jika tidak diberikan kompensasi tertentu.
Seorang pejabat daerah yang tidak ingin disebutkan namanya mengungkapkan.
“Mereka datang minta data dengan surat tugas media, besoknya datang lagi bawa proposal LSM. Kalau kami tidak respon, mereka ancam akan viralkan berita yang belum tentu benar.
Menurut Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang ditetapkan oleh Dewan Pers, wartawan wajib independen, jujur, dan tidak menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadi atau pihak lain. Pasal 1 menyebutkan.
“Wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beritikad buruk.”
Sementara Pasal 6 yang berbunyi sebagai berikut.
Wartawan Indonesia tidak menyalahgunakan profesi dan tidak menerima suap.
Ketika seorang wartawan juga berperan sebagai LSM, terlebih dalam kasus di mana LSM tersebut bersifat advokatif atau mengelola anggaran hibah/bantuan, maka potensi konflik kepentingan menjadi tak terhindarkan. Ini melanggar asas independensi sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, khususnya.
√ Pasal 7 ayat (2). “Wartawan memiliki dan menaati Kode Etik Jurnalistik.”
√ Pasal 3 ayat (2). “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Fungsi pers harus dilaksanakan secara murni dan tidak boleh dirusak dengan kepentingan LSM yang notabene sering kali bersifat politis, advokatif, atau bahkan bermuatan ekonomi.
Lebih dari sekadar pelanggaran etik, wartawan yang menyalahgunakan profesinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi melalui identitas ganda bisa dikenakan pasal pidana.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), praktik seperti ini berpotensi dijerat dengan.
√ Pasal 368 KUHP tentang Pemerasan.
√ “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan sesuatu, seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang itu atau orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
√ Pasal 310 dan 311 KUHP tentang pencemaran nama baik jika berita yang disebarkan tanpa dasar dan digunakan sebagai alat tekanan.
√ Bahkan jika ada penyalahgunaan akses atau jabatan publik, bisa juga dijerat dengan UU Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001).
Ketua Dewan Pers Indonesia, dalam pernyataan terbarunya, mengecam praktik rangkap jabatan.
“Tidak boleh wartawan juga menjadi LSM aktif, apalagi yang mengelola dana atau kegiatan advokasi. Itu bentuk konflik kepentingan dan melanggar prinsip dasar jurnalisme. Kita akan tindak tegas.
Dewan Pers mengingatkan bahwa hanya wartawan yang terverifikasi secara administratif dan faktual yang dilindungi UU Pers. Wartawan abal-abal, apalagi yang merangkap sebagai ‘preman LSM’, tidak bisa berlindung di balik kebebasan pers.
Praktik ini juga merusak nama baik LSM sebagai organisasi sipil yang seharusnya menjadi pengawal keadilan dan suara rakyat. Dengan adanya infiltrasi oknum wartawan, kredibilitas LSM menjadi dipertanyakan. Banyak pejabat daerah kini enggan menerima audiensi LSM karena takut dimanipulasi oleh wartawan berbaju aktivis.
Fenomena wartawan merangkap LSM tidak bisa dibiarkan. Ini bukan hanya soal etika, tapi sudah masuk ranah hukum dan moral. Identitas ganda menciptakan konflik kepentingan yang merusak esensi jurnalistik dan kepercayaan publik.
Sudah saatnya Dewan Pers, kepolisian, dan aparat penegak hukum turun tangan. Wartawan yang ingin menjadi aktivis, silakan lepas kartu pers. Dan sebaliknya, aktivis yang ingin menjadi jurnalis, tempuh jalur profesional.
Demokrasi tidak boleh dijadikan panggung dagang sapi oleh oknum yang memperjualbelikan idealisme. Bila dibiarkan, bukan hanya wartawan dan LSM yang tercoreng tetapi juga masa depan pers Indonesia.@Ayu/Red.