MIRIS! Guru Menyeberangi Sungai Demi Mengajar, Tamparan Keras untuk Pemda dan Dinas Pendidikan Pasangkayu
PASANGKAYU — WARTA POLRI | Di tengah gencarnya kampanye pemerataan pendidikan dan pembangunan infrastruktur, potret memprihatinkan justru terjadi di Kabupaten Pasangkayu. Sejumlah guru di SMP Negeri 7 Bambalamotu, Desa Wulai, Kecamatan Bambalamotu, harus mempertaruhkan keselamatan mereka setiap hari demi mendidik anak bangsa. Mereka menyeberangi sungai besar tanpa jembatan, berjalan kaki dengan sepatu dan tas ditenteng agar tak basah, hanya untuk tiba di ruang kelas. Selasa,7/10/2025.
Perjuangan ini bukan kisah heroik yang layak dibanggakan, melainkan tamparan keras bagi instansi terkait, khususnya Dinas Pendidikan dan Pemerintah Daerah Pasangkayu. Bertahun-tahun kondisi ini berlangsung tanpa solusi nyata. Musim hujan menjadi mimpi buruk bagi para guru. Arus sungai meningkat tajam, tanah menjadi licin, dan risiko keselamatan pun meningkat berkali lipat. Namun, mereka tetap datang, tetap hadir, karena sadar pendidikan tak bisa menunggu.
Salah seorang guru yang tidak mau disebutkan namanya mengaku sering kali harus mengganti pakaian setibanya di sekolah karena celananya basah akibat menyeberangi sungai. “Kami sudah terbiasa seperti ini. Tapi sebenarnya ini sangat membahayakan. Kami tidak punya pilihan lain,” ujarnya.
Ironisnya, situasi ini sudah berulang kali dilaporkan, namun nyaris tanpa tanggapan berarti. Jembatan yang dijanjikan belum juga dibangun. Akses jalan masih berupa tanah yang licin dan sulit dilalui kendaraan, apalagi saat hujan deras mengguyur wilayah tersebut.
Kondisi ini juga berdampak pada murid. Ketika para guru telat karena harus menunggu air sungai surut, kegiatan belajar mengajar ikut terganggu. Dalam beberapa kasus ekstrem, sekolah bahkan terpaksa diliburkan karena tak mungkin melintasi sungai dalam kondisi banjir.
Pendidikan adalah hak dasar, dan para guru adalah garda terdepan dalam menegakkan hak itu. Namun, bagaimana mungkin mereka bisa bekerja optimal jika keselamatan mereka sendiri diabaikan. Apakah harus menunggu ada korban jiwa baru pemerintah bertindak.
Kritik keras pun mulai bermunculan dari kalangan pemerhati pendidikan dan masyarakat sipil. Mereka mendesak Pemerintah Kabupaten Pasangkayu dan Dinas Pendidikan untuk segera turun tangan. Tidak cukup hanya dengan data dan laporan di atas meja, mereka harus melihat langsung bagaimana para guru berjuang, mengarungi sungai, dan menantang maut, hanya demi memastikan anak-anak di pelosok tetap mendapatkan pendidikan yang layak.
“Kita bicara soal guru, pahlawan tanpa tanda jasa. Tapi kalau mereka terus dibiarkan berjuang sendirian seperti ini, maka kita sebagai bangsa justru menjadi pengkhianat terhadap masa depan generasi penerus,” ujar seorang aktivis pendidikan lokal.
Situasi di SMPN 7 Bambalamotu ini seharusnya menjadi alarm keras bahwa pembangunan belum merata, bahwa janji pendidikan berkualitas untuk semua belum sepenuhnya nyata, dan bahwa masih banyak guru yang berjuang dalam senyap, jauh dari sorotan kamera dan pujian pejabat.
Masyarakat kini menanti langkah konkret. Bukan lagi janji manis atau kunjungan seremonial, tapi aksi nyata yang menjamin keselamatan dan kelayakan kerja para guru. Karena di balik setiap lembar buku yang mereka ajarkan, tersimpan peluh dan keberanian yang tak seharusnya dikhianati oleh sistem yang abai.@Ayu/Red.