Pembangunan di Balik Kisruh Tanpa Plang di SMKN 1 Mehalaan, Proyek Miliaran Diduga Disalahinformasikan, Oknum LSM Hantam Kromo
MAMASA — WARTA POLRI | Proyek pembangunan di lingkungan UPTD SMKN 1 Mehalaan menyulut kontroversi keras dan menjadi sorotan publik. Pembangunan yang menyerap dana dari APBN 2025 senilai Rp1.698.510.000, awalnya tidak memiliki plang proyek, memicu tanda tanya besar serta menciptakan simpang siur informasi di tengah masyarakat dan insan pers.
Kondisi ini diperparah dengan keterangan awal yang diberikan oleh Kepala Sekolah, yang secara tegas menyatakan bahwa proyek tersebut adalah pembangunan khusus penempatan alat RPS. Namun setelah pemberitaan muncul di media, barulah plang proyek dipasang menunjukkan fakta sebenarnya bahwa proyek tersebut adalah pembangunan Ruang Praktik Siswa (RPS) Teknik Jaringan Komputer dan Telekomunikasi serta pembangunan ruang perpustakaan. Selasa,7/10/2025.
Proyek tersebut merupakan program langsung dari pusat, yang telah mendapatkan rekomendasi dari Dinas Pendidikan. Setelah kisruh proyek ini mencuat di media, muncul pihak dari LSM yang datang ke sekolah dengan membawa pemberitaan media sebagai landasan klarifikasi. Namun yang menjadi sorotan adalah sosok dari oknum LSM tersebut yang ternyata juga menjabat sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) di salah satu desa dalam wilayah Kabupaten Mamasa.
Kehadiran oknum tersebut memunculkan tanda tanya besar dan dugaan konflik kepentingan. Pasalnya, seorang anggota BPD yang merangkap sebagai pengurus LSM dan turut serta melakukan investigasi atau intervensi ke lembaga pendidikan atas dasar pemberitaan yang dibuat oleh awak media warta polri (Kabiro Mamasa), berpotensi melanggar sejumlah ketentuan hukum dan etika jabatan.
Berdasarkan fakta-fakta di lapangan, terdapat indikasi pelanggaran undang-undang dan etika jabatan, baik dari sisi keterlambatan pemasangan plang proyek, disinformasi kepada publik, maupun rangkap jabatan oleh oknum LSM yang juga anggota BPD.
1. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
√ Pasal 13 dan 14 menyebutkan bahwa badan publik wajib menyediakan informasi yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.
Dalam kasus ini, keterlambatan pemasangan plang proyek serta informasi menyesatkan dari pihak sekolah telah melanggar prinsip keterbukaan dan akuntabilitas publik.
2. Permendagri No. 110 Tahun 2016 tentang BPD.
√ Pasal 26 secara tegas melarang anggota BPD untuk.
√ Merangkap jabatan pada lembaga lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.
√ Dengan menjadi pengurus LSM dan melakukan tindakan klarifikasi yang menyerupai investigasi terhadap instansi pendidikan, oknum tersebut telah mencederai etika jabatan BPD dan melampaui kewenangannya.
3. UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
√ Pasal 17 Ayat (2) menekankan.
° “Setiap pejabat dilarang menyalahgunakan wewenang, baik secara langsung maupun tidak langsung.”
° Dugaan intervensi oleh oknum LSM yang merangkap BPD berpotensi termasuk ke dalam kategori penyalahgunaan wewenang dan patut ditindaklanjuti oleh pihak berwenang.
Kasus ini menandai pentingnya transparansi dan komunikasi yang jelas dalam pelaksanaan proyek pemerintah, terutama yang bersumber dari APBN. Terlebih lagi, ketika menyangkut institusi pendidikan yang seharusnya menjadi contoh dalam integritas dan kejujuran informasi.
Sementara itu, oknum anggota BPD yang juga aktif di LSM harus mendapatkan sanksi tegas dari lembaga pengawas, termasuk kemungkinan pemberhentian dari jabatan jika terbukti melanggar ketentuan yang berlaku.
Dunia pemerintahan desa tercoreng oleh ulah seorang oknum anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang diduga merangkap jabatan sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Praktik rangkap jabatan ini dinilai tidak hanya melanggar etika publik, tetapi juga bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Informasi yang dihimpun menyebutkan bahwa oknum tersebut aktif menjalankan peran sebagai pengurus LSM di tingkat daerah sambil tetap menerima honorarium sebagai anggota BPD.
Tak hanya itu, yang bersangkutan juga kerap menggunakan atribut LSM untuk memengaruhi kebijakan desa dan diduga melakukan intervensi dalam pengelolaan dana desa. Warga menilai tindakan tersebut sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang dan konflik kepentingan yang jelas mencederai semangat transparansi dan akuntabilitas.
“Ini jelas rangkap jabatan yang menabrak aturan. Bagaimana mungkin seorang yang aktif di LSM dan sering mengkritik pemerintah justru duduk di kursi BPD dan menerima anggaran dari desa,” ujar salah satu tokoh masyarakat yang geram dengan tindakan tersebut.
Menurut ahli tata pemerintahan desa, rangkap jabatan antara pengurus LSM dan anggota BPD melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, terutama.
Pasal yang Diduga Dilanggar oleh iknum LSM tersebut sebagai berikut.
° Pasal 65 ayat (1).
“Anggota BPD harus memenuhi syarat tidak sedang menjabat pada jabatan lain yang dapat menimbulkan konflik kepentingan dengan tugas dan wewenangnya sebagai anggota BPD.
PP Nomor 43 Tahun 2014. (jo. PP No. 47 Tahun 2015) Tentang Peraturan Pelaksanaan UU Desa.
° Pasal 31 ayat (1).
“Anggota BPD dilarang menjadi pengurus partai politik dan/atau organisasi yang dapat menimbulkan benturan kepentingan.
Pengurus LSM bisa dianggap menimbulkan benturan kepentingan apabila kegiatan organisasinya berkaitan dengan pengawasan atau keterlibatan langsung terhadap pengelolaan dana desa.
Sejumlah elemen masyarakat kini menuntut agar yang bersangkutan segera dicopot dari jabatan anggota BPD. Bahkan, beberapa LSM lainnya mendesak Inspektorat dan Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD) untuk segera melakukan audit terhadap seluruh keputusan BPD yang melibatkan oknum tersebut.
Jika terbukti bersalah, yang bersangkutan tidak hanya bisa diberhentikan dari jabatan BPD, tetapi juga dapat diproses hukum jika terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian keuangan negara.
Kasus ini menjadi cerminan betapa pentingnya integritas dan profesionalitas dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Masyarakat berharap aparat penegak hukum dan pengawas desa tidak menutup mata terhadap praktik yang berpotensi merusak kepercayaan publik. Desa harus bersih dari konflik kepentingan. Jangan jadikan jabatan sebagai alat memperkaya diri atau menekan pemerintah desa.@Ayu/Red.