Siaran Pers Gugatan Fantastis Gagal Total, DK PWI Menang Telak, Pengadilan Tegaskan Tidak Berwenang Campuri Urusan Internal Organisasi
JAKARTA — WARTA POLRI | Drama hukum yang melibatkan mantan Sekjen PWI Sayid Iskandarsyah akhirnya tamat. Gugatan perdata senilai lebih dari Rp100 miliar terhadap Dewan Kehormatan Persatuan Wartawan Indonesia (DK PWI) yang dipimpin Sasongko Tedjo resmi ditolak dan tidak dapat diterima oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Lebih dari itu, putusan ini kini telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), menandai kemenangan telak DK PWI atas upaya hukum yang dianggap sebagai bentuk serangan balik terhadap penegakan etika dalam tubuh organisasi profesi wartawan tertua di Indonesia tersebut. Selasa,15/4/2025.
Dalam sidang yang digelar melalui sistem e-court pada Selasa, 18 Maret 2025, majelis hakim yang diketuai Haryuning Respanti SH MH menegaskan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang secara absolut untuk mengadili perkara internal organisasi kemasyarakatan seperti PWI. Dalam amar putusannya, majelis menyatakan, “Mengabulkan eksepsi Tergugat II sampai Tergugat X; menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara ini.”
Kepastian hukum itu disampaikan oleh Ketua Tim Advokat Kehormatan Wartawan, Prof Dr Todung Mulya Lubis SH, LLM, Senin (14/4). “Putusan sudah BHT, artinya gugatan ini selesai, tidak bisa lagi dilanjutkan,” ujar Todung. Hal ini diperkuat dengan tidak diajukannya banding oleh pihak penggugat dalam waktu 14 hari sebagaimana diatur dalam hukum acara perdata.
Kemenangan ini bukan hanya kemenangan hukum, tetapi juga kemenangan atas upaya mempermainkan sistem hukum demi kepentingan pribadi.
Sayid Iskandarsyah, yang sebelumnya menjabat Sekjen PWI Pusat, mengajukan gugatan perdata luar biasa kepada para pengurus DK PWI. Ia menuntut kerugian total senilai Rp101.871.200.000 dengan dalih mengalami kerugian materiil dan immateriil akibat SK DK PWI Nomor 21/IV/DK/PWI-P/SK-SR/2024 yang menjatuhkan sanksi terhadap dirinya dalam kasus dugaan pelanggaran etika dan pengelolaan dana Forum Humas BUMN.
Gugatan tersebut dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap keputusan DK PWI yang secara tegas menyatakan Sayid wajib mengembalikan dana sebesar Rp1,77 miliar ke kas organisasi bersama tiga pihak lainnya secara tanggung renteng. Sayid juga sempat mengembalikan sebagian dana yang ia tandatangani dalam pencairannya, yaitu sebesar Rp1,08 miliar.
Namun, dalih kerugian dan tuntutan fantastis senilai Rp100 miliar atas kehormatan yang hilang itu dibantah dan dipatahkan habis oleh argumentasi hukum dari Tim Advokat Kehormatan Wartawan.
Dalam eksepsinya, tim hukum DK PWI yang terdiri dari 15 pengacara elit, di antaranya Todung Mulya Lubis dan Dr Luhut MP Pangaribuan, menyatakan bahwa PN Jakpus tidak memiliki kompetensi absolut untuk mengadili konflik internal organisasi yang telah memiliki mekanisme dan perangkat etika tersendiri.
“Pengadilan tidak berhak mencampuri urusan internal ormas. DK PWI bertindak berdasarkan konstitusi organisasi yang sah secara hukum, sesuai UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas,” ujar Fransiskus Xaverius SH, anggota tim advokat.
Tim hukum menekankan bahwa penerbitan SK sanksi terhadap Sayid adalah langkah sah dalam rangka penegakan disiplin, kode etik jurnalistik, serta aturan internal organisasi PWI.
Kemenangan DK PWI ini membawa pesan tegas: Organisasi profesi memiliki legitimasi untuk menegakkan kedisiplinan dan etika terhadap anggotanya, tanpa intervensi pengadilan umum.
“Ini pelajaran penting bagi semua organisasi profesi di Indonesia, bahwa pengawasan internal yang berjalan sesuai konstitusi organisasi harus dihormati oleh semua pihak, termasuk pengadilan,” tandas Fransiskus.
Ke depan, DK PWI berharap tak ada lagi pihak-pihak yang mencoba mengaburkan batas antara penegakan disiplin dan serangan pribadi melalui jalur hukum yang tidak pada tempatnya.
Perkara ini menjadi preseden penting: bahwa keadilan tidak bisa dijadikan alat untuk membalas keputusan organisasi yang sah. DK PWI berdiri kokoh sebagai benteng etik dan integritas, membuktikan bahwa profesionalisme tidak bisa dikompromikan dengan manuver hukum yang sembrono.
Putusan PN Jakarta Pusat adalah lonceng kematian bagi gugatan mengada-ada, dan sekaligus kemenangan prinsipil bagi dunia pers Indonesia.@Red.